Mengunjungi Kota Madinah dan Kota Mekah itu mengingatkan pada senandung kasih kisah Majnun dan Layla. Keduanya adalah karakter puisi-puisi sufi sebagaimana Krishna untuk puisi-puisi dari India. Majnun secara harfiah berarti menyelami pikiran dan Layla bermakna malam yang kabur. Cerita seorang anak tampan yang bernama Qays ibn al-Mulawwah yang saat itu masih anak-anak ketika ia jatuh hati dengan Layla Al-Aamiriya. Ia yakin akan cinta pada pandangan pertama ketika bertemu di maktab (sekolah tradisional). Setelah itu ia mulai menuliskan puisi-puisi yang indah tentang Layla dan ia membacakannya secara terbuka di pojok jalanan kepada siapa saja yang sudi untuk mendengarkan. Gaya pengungkapan cinta dan pengabdian seperti itu menyebabkan orang memanggilnya Majnun, yang berarti orang gila.
Suatu hari, Majnun mendapatkan keberanian untuk meminang kepada ayah Layla, namun sang ayah menolak permintaan tersebut. Pernikahan yang menurut ayahnya hanya akan membuat skandal. Tidak sepantasnya Layla menikahi kepada lelaki yang dipanggil orang gila. Sebaliknya, Layla dijanjikan kepada lelaki lain dari kampung tetangga.
Majnun menjalani kesedihan dan meninggalkan rumah dan keluarganya lalu menghilang ke padang belantara dimana ia hidup sengsara sendiri diantara binatang liar. Dalam belantara tersebut Majnun melewatkan harinya menulis puisi untuk yang dicintainya.
Layla dipaksa menikahi lelaki lain yang lebih tua, meskipun ia tidak mencintainya karena hatinya masih milik Majnun. Meskipun ia tidak mencintai suaminya, ia adalah anak perempuan yang loyal dan bertahan menjadi istri yang setia.
Berita pernikahan Layla menghancurkan jiwa Majnun yang terus hidup menyendiri, menolak untuk pulang kerumah ayah dan ibunya di kota.
Ayah dan ibu Majnun merindukan sekali anaknya dan berharap setiap harinya ia akan pulang dengan selamat. Mereka mau meninggalkan makanan dibawah tajuk taman dengan harapan ia akan pulang kembali kepada mereka dari padang pasir. Namun Majnun tetap tinggal di padang belantara, menuliskan kidung cinta dalam kesendirian tanpa pernah berbicara kepada satu jiwapun.
Majnun melewati hidup dalam kesindirian di kelilingi oleh binatang liar yang akan berkumpul disekitarnya dan melindunginya pada malam-malam padang yang panjang. Seringkali ia terlihat oleh para penjelajah yang melintasinya dalam perjalanan menuju kota. Para penjelajah mengatakan bahwa Majnun melewati harinya dengan membacakan puisi kepada dirinya sendiri dan menulis di pasir menggunakan ranting kayu. Mereka mengatakan bahwa ia telah menjadi gila karena hati yang pupus.
Bertahun-tahun kemudian, ayah dan ibu Majnun meninggal dunia. Mengetahui pengabdian kepada kedua orangtuanya, Layla berketetapan untuk mengirimkan berita kepada Majnun tentang kepulangan mereka. Pada akhirnya ia menemukan orang tua yang mengaku pernah melihat Majnun di padang pasir. Setelah banyak meminta dan memohon, lelaki tua menyetujui untuk menyampaikan pesan kepada Majnun pada perjalanan berikutnya.
Satu hari, lelaki tua tersebut benar melewati Majnun di tengah padang. Ia menyampaikan pesan kematian orangtua Majnun dan menyaksikan dampak nestapa yang menimpa pujangga muda.
Menghadapi penyesalan dan duka yang mendalam, Majnun menarik diri dan berjanji untuk tinggal di padang pasir sampai mati menjemput.
Beberapa tahun kemudian, suami Layla meninggal. Wanita muda itu berharap pada akhirnya ia bisa bersama dengan cinta satu-satunya, bersama Majnun selamanya. Namun sedih hal itu tidak bisa terjadi. Tradisi meminta Layla tinggal di rumah sendiri untuk meratapi kematian suaminya selama dua tahun tanpa bisa bertemu orang lain. Pikiran yang tidak bisa bersama Majnun dua tahun lagi melebihi dari apa yang bisa ditanggung oleh Layla. Mereka telah terpisahkan selama satu kehidupan dan dua tahun lagi dalam penyendirian, dua tahun tanpa bisa melihat yang paling dicintai, cukup membuat wanita muda menyerah dalam hidup. Layla meninggal dengan hati pupus, sendiri di dalam rumahnya tanpa pernah melihat Majnun kembali.
Berita kematian Layla sampai juga kepada Majnun di tengah padang belantara. Ia kemudian mengunjungi tempat Layla di kuburkan dan ia kemudian menangis dan menangis sampai pada akhirnya ia pun menyerah pada duka yang begitu mendalam dan ia meninggal disisi kuburan cinta sejatinya.
–ooo000ooo–
Seorang pujangga bertanya, “Apakah kamu pernah bertanya tentang tempat itu? Tentang siapa yang pernah tinggal pada tempat itu? Tidakkah kamu bertanya dimana Layla pernah tinggal?”
Majnun berkata, “Tidak, saya sudah bertanya. Tapi bagaimana puing-puing bangunan memberikan saya jawaban? Kemana semua orang telah pergi?”. Saya pergi ketempat tinggal itu dan saya menciumi dinding ini dan itu. Kemudian ia berkata, bukan cinta pada dinding yang telah mengambil hati saya. Namun cinta pada seseorang yang pernah hidup pada dinding ini.
‘I pass by these walls, the walls of Layla
And kiss this wall and that wall.
It’s not love of the houses that has taken my heart
But of the One who dwells in those houses.’
Itulah mengapa kita mengunjungi dua kota mulia ini. Bukan karena tempatnya namun karena jiwa yang paling kita cintai pernah tinggal disana, Nabi SAW berjalan disana.
Salah satu pujangga berkata, mereka melihat Majnun yang sedang merawat seekor anjing, memberinya makan dan menepuk-nepuk tubuhnya. Mereka berkata kepada nya. “Apa yang salah dengan mu? Kenapa kamu memperlakukan anjing seperti itu?” Ia bilang, “Jangan menyalahkan aku dan tinggalkan semua sangkaanmu. Saya pernah melihat anjing ini dekat dengan Layla.”
Hanya karena anjing tersebut pernah dekat dengan Layla, ia memiliki cinta kepada anjing tersebut. Itulah cinta sungguhan. Saat ini banyak orang modern tidak mengetahui apa cinta itu. Banyak orang modern telah kehilangan kapasitas mencintai karena mereka sangat asing dengan hati mereka sendiri. Ketika kita terputus dengan hati bagaimana bisa kita mengenal cinta? Karena rahasia hati adalah cinta.
Itulah cinta para sahabat kepada Rosul SAW. Bilal RA tidak bisa tinggal di kota Madinah setelah wafatnya Nabi SAW. Ia pergi ke Syam dan tinggal di Syria. Suatu hari setelah bermimpi akan nabi yang meminta untuk dikunjungi, setelah 20 tahun kepergiannya.
Setelah sampai di Kota Madinah, Umar RA memintanya untuk mengumandangkan azan namun permintaan khalifah tersebut ditolaknya. Kemudian Hasan RA dan Husein RA mendatanginya. Setelah dipeluk dan diciuminya, mereka meminta Bilal RA kembali mengumandangkan azan. Bilal RA tidak kuasa untuk menolak permintaan cucu Nabi SAW tersebut.
Ia tidak mau mengumandangkan azan. Ia tidak bisa azan kembali di masjid An Nabawi karena terlalu sulit bahwa dahulu ia memanggil Nabi SAW untuk sholat. Pada akhirnya ia mengumandangkan azan. Seketika itu orang-orang keluar dari rumah-rumah mereka dengan berlinang air mata. Berpikir bahwa Nabi SAW akan datang kembali dan memimpin sholat.
Azan itu tidak selesai dikumandangkan sampai akhir karena begitu berat perasaan Bilal RA mengenang yang dicintai. Meskipun setelah 20 tahun begitulah bagaimana hati mereka yang saling terjalin dengan Nabi SAW. Inilah kondisi para sahabat, kondisi saling mencintai. Kamu tidak bisa mencintai Alloh SWT tanpa mencintai apa yang Alloh cintai. Kamu tidak mencintai yang tercinta tanpa mencintai apa yang ia cintai.
Perjalanan menuju dua kota, Madinah dan Mekah, merupakan tilas balik cerita kehidupan Nabi SAW yang menceritakan jalan menuju pengabdian dan merasakan jiwa dalam pencarian Tuhan.